Menkeu Tularkan Ilmu Ekonomi dari Stimulus Hingga Peran Regulasi Pemerintah

By Admin

nusakini.com-- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberi kuliah perdana kepada para mahasiswa baru, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEB UI) di Auditorium Gedung Dekanat FEB UI Kampus Depok pada Senin (28/08). 

Menkeu mengatakan, para pelaku ekonomi di dalam ilmu ekonomi dianggap sebagai makhluk rasional yang selalu bertindak berdasarkan rasio akal sehatnya. Namun, pada kenyataannya, banyak juga orang yang bertindak berdasarkan keputusan emosional. Menurut Menkeu, sebagai ekonom dalam merancang suatu kebijakan harus bisa mengenali bahwa masyarakat juga bertindak berdasarkan insentif yang didapatnya berupa stimulus seperti diskon. 

“Di dalam ekonomi, orang diasumsikan dan dilatih sebagai makhluk yang rasional. Mengambil keputusan berdasarkan rational thinking. Kalau manfaatnya lebih besar dibanding biayanya, atau dalam Islam lebih banyak manfaatnya dari mudharatnya, Anda ambil. Tapi apakah manusia selalu berpikir secara rasional? Ngga juga. Ada yang manfaatnya jelas-jelas lebih gede, dia ngga mau ambil aja. Banyak orang mengambil keputusan berdasarkan dimensi lain, tidak hanya berdasarkan keputusan ekonomi. Ada yang memutuskan berdasarkan di dalam rasa, based on emotional. Kalau Anda ekonom, memutuskannya pakai kepala. Masyarakat bertindak berdasarkan insentif. Ekonom tahu betul, insentif itu works,” ungkapnya. 

Menurut Menkeu, mahasiswa akan dibekali dengan prinsip trade-off, opportunity-cost, rational thinking, dan incentives selama mempelajari ilmu ekonomi, namun saat berinteraksi dalam mekanisme pasar, apa yang menurut pandangan ekonomi itu benar, bisa jadi dipandang tidak benar dalam konteks politik karena ada kepentingan (interest) masing-masing. 

“Anda akan disiapkan menjadi ekonom berdasarkan prinsip trade-off, opportunity-cost, rational thinking, and incentives. Tapi bagaimana kalau orang berinteraksi dengan orang lain? Karena manusia makhluk sosial, sama dengan Indonesia, kita hidup dengan 189 negara lain. Manusia hidup dengan negara lain dengan trade atau perdagangan. Interaksi jual beli itu volunteer, suka sama suka. Dua-duanya mendapat manfaat, bukan zero-sum game. Tapi prinsip trade di dalam ekonomi yang sama-sama untung, bisa dipandang rugi oleh pembeli dan penjual untung di dalam konteks politik seperti Amerika yang merasa rugi karena banyak membeli barang dari Cina. Trade itu muncul dalam mekanisme pasar dari interaksi. Bukannya kita percaya mekanisme pasar, kita belajar that market itu bisa menyelesaikan beberapa masalah. Tidak semua masalah. Apa yang bisa diselesaikan? Kebutuhan manusia versus mereka yang punya self-interest,” jelasnya. 

Menkeu memaparkan teori Adam Smith seorang ekonom Amerika, di pasar atau market, tempat bertemunya penawaran dan permintaan, terdapat invicible hand berupa harga yang terjadi dalam interaksi mekanisme pasar. 

“Di dalam pemikiran Adam Smith, nanti Anda akan mengenal istilah invicible hands. Market itu adalah bertemunya demands and supply. Di market juga ada self-interest di sana. Membeli itu bukan karena kasihan tapi ada kebutuhan masing-masing (interest) yang bertemu di dalam mekanisme pasar dan saling setuju membuat transaksi. Invicible hand, tangan yang tidak kelihatan itu adalah price atau harga,” terangnya. 

Menkeu juga menjelaskan bahwa harga di dalam ekonomi juga merupakan insentif bagi masyarakat yang dapat merubah perilaku mereka baik dari sisi penawaran maupun permintaan. 

“The price dalam ilmu ekonomi juga merupakan insentif. Kalau Anda mengutak-atik harga dalam ekonomi, Anda juga sedang mengubah behavior dalam dua side, baik dari demand-nya maupun supply-nya. Contohnya dalam makronya kalau pemerintah men-subsidi harga LPG 3 kilo, demandnya naik,” jelasnya. 

Dalam konteks ekonomi, persaingan atau kompetisi tidak bisa dihindari, oleh karena itu, menurut Menkeu, tidak ada yang seluruhnya bisa diselesaikan oleh mekanisme pasar. Ia mengatakan pemerintah harus ikut campur dalam meregulasi pasar agar terjadi persaingan bisnis yang sehat untuk mengoreksi kegagalan pasar. 

“Kompetisi menurut ekonom di pasar sebenarnya bagus tapi di sisi lain ada dimensi government yang mengatur interaksi untuk mengatur market yang tidak selalu sempurna atau market failure seperti kasus kompetisi taksi online. Kalau produsen hanya memikirkan untung dan konsumennya ignorance yang penting murah, pemerintah harus masuk untuk mengoreksi kegagalan market,” terangnya. 

Namun demikian, ia menekankan bahwa peran pemerintah dalam meregulasi persaingan pasar harus dapat mengidentifikasi mana yang bisa jadi porsi pemerintah dan mana yang bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. 

“Namun, segala sesuatu yang ada gunanya itu seperti pisau bermata dua. Kalau pemerintah terlalu excessive, ingin me-replace market itu juga berbahaya. Mengacak-acak insentive. Jadi harus ada trade-off. Ngga ada sesuatu yang harus market absolute atau government absolute. Selalu ada in between, harus tahu mana yang work best untuk market, mana yang work best untuk government,” pungkasnya. (p/ab)